Penguasaan
sebuah bahasa oleh seorang anak dimulai dengan perolehan bahasa pertama yang
sering kali disebut bahasa ibu (B1). Pemerolehan bahasa merupakan sebuah proses
yang sangat panjang sejak anak belum mengenal sebuah bahasa sampai fasih
berbahasa. Setelah bahasa ibu diperoleh pada usia tertentu, anak akan mampu
menguasai bahasa lain atau bahasa kedua (B2) yang dikenalnya sebagai
pengetahuan yang baru.
Ada
beberapa hipotesis tentang asal mula bahasa dihubungkan dengan pemerolehan
bahasa pada anak. E. Cassier berpendapat bahwa pada dasarnya bahasa merupakan
pengungkapan gagasan serta ekspresi perasaan atau emosinya. Ia berpendapat
bahwa jeritan-jeritan yang keluar dari seorang anak (bayi) merupakan ungkapan
emosionalnya. Sementara itu, bahasa anak yang merupakan ungkapan pikiran atau
gagasan mengikuti perkembangan fisik dan pikiran sebagai wujud sosialisasinya
dengan lingkungan. Secara alamiah anak akan mengenal bahasa sebagai cara
berkomunikasi dengan orang di sekitarnya.
Pemerolehan
bahasa adalah suatu proses yang diperlukan oleh anak-anak untuk menyesuaikan
serangkaian hipotesis yang semakin bertambah dan masih terpendam atau
tersembunyi yang mungkin sekali terjadi dengan ucapan-ucapan orang tuanya
sampai ia memilih berdasarakan suatu ukuran atau takaran penilaian, tata bahasa
yang baik, dan paling sederhana dari bahasa. Ketika beumur satu tahun, seorang
anak berusaha menirukan kata-kata dan mengucapkan suara-suara yang mereka
dengar disekitar mereka. Sekitar umur 18 tahun, kata-kata itu berlipat ganda
dan mulai muncul dalam kalimat dua atau tiga umumya disebut ujaran-ujaran
“telegrafis (bergaya telegram)”.
Pada
usia 3 tahun, anak-anak biasa mencerna kuantitas masukan linguistik yang luar biasa kemampuan wicara dan pemahaman mereka
meningkat pesat mereka menjadi produktif
tiada henti. Kreativitas mereka berlanjut hingga usia sekolah ketika
anak-anak menyerap struktur yang semakin kompleks, memperluas kosakata mereka,
dan mengasah keterampilan komunikatif mereka.
Berkaitan
dengan teori pemerolehan bahasa, terdapat dua teori yang bertentangan. Akan
tetapi, kedua teori tersebut berkesinambungan dalam pengkajian pemerolehan
bahasa. Dua teori tersebut adalah teori behavioristik dan nativistik.
Behavioristik berpandangan bahwa pemerolehan bahasa anak bergantung pada
lingkungan dan hukum ransangan (stimulasi) dan tanggapan (respons). Teori
nativistik berpandangan bahwa pemerolehan bahasa anak bergantung pada bekal
kodrati anak yang bersifat genetik untuk menguasai bahasa universal.
Teori Pemerolehan Bahasa
Teori
Behavioristik
Teori
Behavioristik berpandangan bahasa adalah bagian fundamental
dari keseluruhan perilaku manusia. Teori behavioristik berfokus pada
aspek-aspek yang dapat ditangkap langsung dari perilaku linguistik-respons yang
bisa diamati secara nyata dalam berbagai hubungan respons-respons itu dan
peristiwa-peristiwa di dunia sekeliling mereka. Seorang behavioris memandang
perilaku bahasa yang efektif sebagai wujud tanggapan yang tepat terhadap
stimulan.
Jika
sebuah respons tertentu dirangsang berulang-ulang, respons tersebut menjadi
sebuah kebiasaan atau terkondisikan. Anak memahami suatu ujaran dengan
memberikan respons tepat terhadapnya dan dengan dirangsang untuk mengeluarkan
respons tersebut.
Teori
behaviorisme menyoroti aspek perilaku kebahasaan yang dapat diamati langsung
dan hubungan antara rangsangan (stimulus) dan reaksi (respons). Perilaku bahasa
yang efektif adalah membuat reaksi yang tepat terhadap rangsangan. Reaksi ini
akan menjadi suatu kebiasaan jika reaksi tersebut dibenarkan. Dengan demikian,
anak belajar bahasa pertamanya. Sebagai contoh, seorang anak mengucapkan “bilangkali”
untuk “barangkali”. Sudah pasti si anak akan dikritik oleh ibunya atau siapa
saja yang mendengar kata tersebut. Apabila ketika si anak mengucapkan “barangkali”
dengan tepat, dia tidak akan mendapat kritikan karena pengucapannya sudah
benar. Situasi seperti inilah yang dinamakan membuat reaksi yang tepat terhadap
rangsangan dan merupakan hal yang pokok bagi pemerolehan bahasa pertama.
Teori
Nativistik
Teori nativistik menentang pandangan behaviorisme secara tajam. Pandangan
nativistik (mentalistik) yang dipelopori oleh Noam Chomsky beranggapan bahwa pengaruh lingkungan bukan faktor penting dalam pemerolehan
bahasa. Chomsky (dalam Yulianto, 26) menyatakan pemberian perilaku bahasa tidak
bisa sekadar merupakan pemberian stimulus eksternal dan respon yang sesuai tetapi
pemberian itu terutama harus merupakan pemberian tentang kemampuan bawaan
manusia untuk belajar bahasa.
Dalam belajar bahasa manusia telah memiliki kemampuan yang secara genetis telah diprogramkan. Manusia lahir dengan dilengkapi suatu alat yang memungkinkan dapat berbahasa dengan cepat dan mudah. Karena sukar
dibuktikan secara empiris, pandangan ini mengajukan satu hipotesis yang disebut
dengan ‘hipotesis nurani’ (innateness hypothesis). Menurut pandangan ini,
bahasa selalu kompleks dan mustahil dipelajari dalam waktu singkat melalui
metode seperti ‘peniruan’ (imitation). Jadi, beberapa aspek penting yang menyangkut sistem
bahasa pasti sudah ada pada manusia secara alamiah.
Mengenai hipotesis nurani bahasa,
otak manusia dipersiapkan secara genetik untuk berbahasa. Untuk itu otak
manusia telah dilengkapi dengan struktur
bahasa universal. Alat itu namanya Language
Acquisition Device (LAD). Dalam proses pemerolehan bahasa LAD ini menerima
‘ucapan-ucapan’ dan data-data lain yang berkaitan melalui pancaindra sebagai
masukan dan membentuk rumus-rumus linguistik berdasarkan masukan itu yang
kemudian dinuranikan sebagai keluaran. Apabila sejumlah ucapan yang cukup
memadai dari suatu bahasa (bahasa apa saja) “diberikan” kepada LAD seorang kanak-kanak sebagai masukan (input),
LAD itu akan membentuk salah satu tata bahasa formal sebagai keluaran
(out-putnya). Jadi adanya hipotesis
mengenai LAD ini semakin memperkuat pandangan para ahli di bidang pemerolehan
bahasa bahwa kanak-kanak sejak lahir telah diberi kemampuan untuk memperoleh
bahasa ibunya. Buktinya, meskipun masukan yang berupa ucapan-ucapan penuh
dengan kalimat-kalimat yang salah, tidak lengkap, dan dengan struktur yang
tidak gramatikal, namun ternyata kanak-kanak dapat saja menguasa bahasa ibunya itu.
Tampaknya bahasa ibu dapat saja diperoleh oleh kanak-kanak dalam keadaan yang
beragam-ragam.
Secara umum teori nativistik berpandangan sebagai berikut: (1) selama proses pemerolehan bahasa pertama, anak
sedikit demi sedikit membuka kemampuan lingualnya yang secara genetis telah
diprogramkan
(LAD); (2) bahasa
hanya dapat dikuasai oleh manusia karena perilaku bahasa adalah sesuatu yang diturunkan
(genetik), pola perkembangan bahasa berlaku universal, dan lingkungan hanya
memiliki peran kecil dalam proses pematangan bahasa; (3) LAD ini dianggap sebagai bagian fisiologis dari
otak yang khusus untuk mengolah masukan (input) dan menentukan apa yang
dikuasai lebih dahulu seperti bunyi, kata, frasa, kalimat, dan seterusnya; (4) Dalam bahasa juga terdapat konsep universal
sehingga secara mental telah mengetahui
kodrat-kodrat yang universal; (5) Antara Nurture dan Nature sama-sama saling mendukung.
Nature diperlukan karena tampa bekal kodrati makhluk tidak mungkin anak dapat
berbahasa dan nurture diperlukan karena tanpa input dari alam sekitar bekal
yang kodrati itu tidak akan terwujud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar